Di hari ketiga trip Sulawesi Tengah ini, kita memulai hari dengan berkendara kurang lebih satu setengah jam dari Kota Palu menuju Saluki di arah Selatan. Di Saluki kita akan menemui penangkaran burung Maleo dan menikmati segarnya hutan.
Untuk menuju lokasi penangkaran Maleo kita harus mendaftar dulu di kantor pengelola, lalu masuk ke dalam hutan menggunakan ojek yang sudah di modifikasi, kita akan berkendara kurang lebih 15 menit sampai sungai lalu berjalan kaki 15 menit.
Jika kuat jalan mungkin bisa juga jalan kaki dari awal tanpa menggunakan ojek.
Pemandu menyarankan untuk masuk ke hutan ini menggunakan sendal karena harus melewati sungai. Tetapi berdasarkan pengalaman saya mungkin baiknya tetap pakai sepatu, karena saat naik motor kaki saya kesambit ranting dan lain-lain, lumayan perih. Cuma ya kalau lewat sungai harus lepas sepatu kalau sepatunya tidak tahan air.
Di tengah perjalanan kita mampir sebentar ke pondok pembuat gula aren. Menyempatkan diri mencicipi rasa gula aren (gula merah/brown sugar) yang baru dibuat, rasanya sangatlah segar. Setelah mencicipi gula merah, kita berjalan lagi menuju lokasi penangkaran Maleo.
Burung Maleo ini sangat unik, bentuknya mirip ayam tapi lebih besar dan begitu juga telurnya. Burung Maleo adalah satwa endemik di Sulawesi Tengah dan termasuk binatang yang dilindungi. Sulit untuk ditemui di alam liar karena sifatnya yang menghindari manusia, kita termasuk beruntung jika bisa melihat Maleo dewasa sekelebat di tengah hutan.
Menurut informasi, burung Maleo ini juga memiliki pantai pribadi di daerah Sulawesi Utara. Maleo ini untuk berkembang biak akan mencari tempat khusus dengan temperatur tanah yang pas untuk mengubur telur mereka. Untuk satu telur, mereka bisa menggali sampai dengan sepuluh lubang untuk mengelabui predator mereka. Juga menarik saat diberi tahu kalau Maleo menggunakan jambul di kepalanya untuk mengukur suhu yang pas saat mengubur telur mereka.
Jika kamu memang bertekad untuk melihat Maleo dewasa, di tengah hutan ini terdapat menara pengawas. Tinggal bersabar menunggu dan tidak banyak bersuara, maka biasa di saat sore hari kita mungkin bisa menyaksikan Maleo dewasa. Maleo dewasa bentuk dan warnanya lebih menarik dibanding saat masih kecil, jadi meluangkan waktu bersabar menanti penampakannya tidak akan mengecewakan. Kecuali tentu saja kamu bukan fans burung atau ayam besar.
Di tempat ini kita juga bisa mendaftarkan diri menjadi ‘orang tua asuh’ dari anak Maleo. Dengan membayar Rp.100.000,- kita bisa melepas satu anak Maleo ke alam bebas dari penangkaran. Sangat menarik, karena begitu anak Maleo itu kita lepas ia akan terbang ke dalam hutan rimbun.
Setelah dari penangkaran Maleo, rencana berikutnya adalah melihat habitat Tarsius. Kita akan menginap di Desa Kamarora, sekitar 3 jam dari kota Palu, sebuah desa yang indah, asri, dan tampaknya tentram. Desa ini didiami oleh para keturunan peserta transmigrasi pada era orde baru, mereka adalah keluarga-keluarga yang dipindahkan dari lokasi yang terlalu terpencil ke daerah yang relatif lebih mudah dijangkau. Penduduknya memperoleh penghidupan dari kebun kakao dan hasil sawah, beberapa menangkap ikan.
Di desa ini kita akan bermalam dan melihat habitat Tarsius. Namun manusia berencana, alam bisa jadi punya rencana lain. Hujan deras di lokasi membuat kita membatalkan agenda mencari Tarsius, karena kalau hujan mereka akan berteduh dan sulit untuk ditemukan.
Akhirnya di saat hujan sedikit mereda, kita berkunjung ke sungai yang terhubung ke danau Lindu untuk melihat-lihat. Cukup beruntung kita bisa melihat Satanic Nightjar yang sedang terbang. Burung ini bentuk dan namanya keren banget. Namanya dikaitkan dengan mitos setempat mengenai iblis yang sering mencabut mata penduduk, namun hasil penelitian menyebutkan kalau deskripsi iblis dengan burung ini ternyata berbeda.
Saat malam masih muda, Thea & Anette meluangkan waktu berbagi beberapa kosa kata dalam bahasa Inggris kepada Gino, anak dari pak Reymon. Pak Reymon adalah pemandu dan tuan rumah tempat kita bermalam. Gino ini masih di sekolah dasar dan memiliki ketertarikan besar pada burung dan berbagai keunikkannya, ia ingin bisa berbahasa Inggris supaya dapat berkomunikasi dengan para pengamat burung dari manca negara. Maka ia bersemangat untuk memperoleh beberapa kosa kata dan melatihnya saat ada kesempatan.
Saat itu saya juga sempat berdiskusi mengenai apakah turis-turis yang datang bersedia meluangkan waktu mereka sepuluh menit untuk bercerita atau berbagi bahasa pada anak-anak di desa. Pak Reymond berkata kalau ia agak sungkan, karena turis-turis itu pasti lelah, namun melihat betapa berbinarnya mata Thea dan Anette saat berinteraksi dengan anak-anak, saya rasa bisa dicoba. Saya juga ingin disetiap perjalanan akan ada sesi bercerita dengan anak-anak mengenai berbagai hal, supaya mereka memiliki pengetahuan baru dan saya juga bisa mendapatkan pencerahan baru dari hasil berinteraksi.
Malamnya saya dan Heidy berbincang dengan Pak Reymond mengenai banyak hal. Mulai dari Tarsius sampai ke bahasa lokal. Di Sulawesi Tengah terdapat cukup banyak bahasa, dan sedikit demi sedikit mulai terkikis karena pembauran. Mungkin akan menyenangkan jika ada yang berinisiatif merekam rupa-rupa bahasa yang ada di setiap daerah di Indonesia.
Keesokan harinya saat membahas bahasa dengan Thea dan Anette, mereka mengusulkan saya mengambil sekolah lagi jurusan Anthropology. Ide menarik yang akan saya pikirkan.
Berbicara mengenai bahasa, saya mengusulkan supaya di desa itu setiap turis yang datang diperkenalkan pada bahasa daerah. Maka di pagi hari, daripada memberi salam “Good Morning” kita paling tidak bisa memberi salam “Selamat Pagi”.
To be continue